Senin, 25 April 2016

Tugas Resensi Filem Fredom Of Wreetren



RESENSI
FREEDOM  WRITERS


Description: D:\Downloads\Documents\Work University\logo.jpg
O
L
E
H
SUKARNO HADI
15100005

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
 PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)
HAMZANWADI SELONG
2015/2016


RESENSI FILM THE FREEDOM  WRITERS
The freedom writers adalah sebuah film yang disutradari oleh Richard Lagravenes dan diproduksi oleh Paramount Pictures pada tahun 2007. Sebuah film yang diambil dari suatu kisah nyata, film ini dibuat berdasarkan buku harian murid-murid di ruang 203 Woodrow wilson high school. Film ini menceritakan tentang perjuangan seorang guru Bahasa Inggris di wilayah New port beach, Mrs. Gruwell. Ia memberikan semangat belajar pada anak-anak yang berada dikelas khusus. Mereka merupakan korban dari perkelahian antargeng rasial.
Kisah ini dimulai dari niat Erin Gruwell yang mulia, ia memberikan pendidikan yang layak kepada murid-muridnya. Niat yang mulia itu pun membuahkan hasil.Murid-muridnya menjadi penulis pada sebuah komunitas yang bernama freedom writers. Semua 150 freedom writers yang lulus dari Woodrow wilson high school, banyak diantaranya mampu melanjutkan kuliah. Freedom Writers ini banyak mengumpulkan liputan media, termasuk diantaranya adalah penampilan di "PrimeTime Live", "The View" dan "Good Morning America".
Pada tahun 1998, Gruwell meninggalkan Wilson High School untuk menjadi dosen di California State University, Long Beach.Gruwell yang kemudian melanjutkan untuk memulai Freedom Writers Foundation, bercita-cita untuk menyebarkan metode Freedom Writers di seluruh negeri. Harapannya adalah semua para calon guru bisa belajar dari pengalamannya dan menemukan cara untuk menginspirasi para siswa yang kurang beruntung lainnya, seperti apa yang dihadapinya. Freedom Writers Diary adalah sebuah buku yang ditulis oleh Erin Gruwell pada tahun 1999 yang merupakan dasar dari film 2007 "The Freedom Writers" yang dibintangi oleh Hillary Swank sebagai  Erin Gruwell, Patrick Dempsey sebagai Scott Casey (Suami Erin), Mario sebagai Andre Brion. Dan juga pemeran murid-murid di kelas Erin Gruwell merupakan sebagian besar adalah wajah-wajah baru di dunia perfilman.Mereka belum begitu dikenal baik oleh masyarakat, Amerika Serikat sendiri maupun masyarakat Indonesia.Namun, mereka berhasil membawakan peran mereka masing-masing dengan sangat baik dan meyakinkan.Freedom Writers bisa dikatakan merupakan film untuk anak-anak muda. Erin Gruwell ini telah menulis sebuah autobiografi dari pengalamannya yang berjudul "Mengajar dengan Hati: Pelajaran saya Dipetik dari Freedom Writers", yang diterbitkan sekitar waktu yang sama dengan dirilisnya film ini.

Pada 1994 Erin Gruwell mulai mengajar pada kelas ruang 203 di Woodrow  wilson high school di Long Beach, California. Dia adalah seorang guru Bahasa Inggris yang ditugaskan di antara para murid-murid dengan kemampuan terendah di sekolah, dimana murid-muridnya tersebut sangat beragam ras. Mereka terdiri dari asia, latin, kulit putih dan kulit hitam. Murid-murid itu pun sebenarnya tidak menginginkan untuk bisa sekolah, namun karena kewajiban distrik dari integrasi mengakibatkan mereka bersekolah.Sekolah Woodrow Wilson high school sendiri tadinya merupakan sekolah yang sukses. Sekolah ini banyak  melahirkan murid-murid yang berprestasi, sebelum akhirnya terjadinya kerusuhan antar ras di Amerika pada tahun 1992 tepatnya di Los Angles. Kerusuhan itu mengakibatkan kurang lebih 50 orang tewas dengan kerugian US$ 1 Billion.
Pada awal kedatangan Erin Gruwell, para murid sama sekali tidak tertarik dengan kehadirannya. Mereka sangat sentimen terhadap orang berkulit putih.Mereka menganggap bahwa Erin Gruwell tidak mengerti apapun mengenai kehidupan mereka yang keras, kehidupan yang selalu berada di bawah bayang-bayang perang. Bagi mereka, kehidupan adalah bagaimana caranya mereka ”selamat” dari kekerasan. Dimana kekerasan yang sering terjadi ini mengatas namakan “ras”.
Di saat awal ia mengajar, Erin Gruwell mengalami kesulitan dalam menyampaikan pembelajarannya karena murid-muridnya sering berkelahi di kelas dan di sekolah juga sering terjadi kerusuhan antargeng. Saat itu ia baru menyadari, perang antargeng yang terjadi di kota juga terbawa sampai ke dalam kelasnya. Di dalam kelas, murid-muridnya duduk berkelompok menurut ras masing-masing.Tak ada seorang pun yang mau duduk dikelompok ras yang berbeda.Kesalahpahaman kecil yang terjadi di dalam kelas dapat memicu perkelahian antarras.Murid-murid Erin Gruwell bukanlah murid biasa.Mereka disebut murid yang tidak dapat diajar serta tidak memiliki etika.Mereka adalah anak-anak yang tumbuh dari lingkungan yang penuh kekerasan.Mereka dengan ras-nya masing-masing, setiap harinya harus bertahan hidup dan mempertahankan daerahnya masing-masing.Itu merupakan tantangan tersendiri bagi Erin Gruwell untuk menghadapinya.
Keadaan didalam kelas mulai berubah.Saat suatu hari beredarnya sebuah karikatur yang menggambarkan seorang black African-American yang memiliki mulut yang tebal.Gambar itu berhubungan dengan salah satu murid yang bernama "Sharaud", yang tampaknya bertekad untuk membuat hidupnya sengsara. Ia telah dipindahkan ke Woodrow  wilson high school dari SMA-nya yang lama. Disana ia diduga mengancam gurunya dengan sebuah senapan. Gambar tersebut beredar di kelas yang kemudian pada akhirnya diketahui oleh Erin Gruwell.Ia menjadi sangat marah pada saat itu. Ia kemudian membandingkan gambar karikatur tersebut dengan gambar karikatur orang yahudi dengan hidung besarnya. Ia bercerita bahwa gambar itu beredar saat terjadi peristiwa Holocaust/sjoa. Namun pada saat ditanya apa yang dimaksud Holocaust, ternyata hanya satu murid yang tahu mengenai apa Holocaust itu (cowok berkulit putih). Berbeda saat ketika mereka ditanya, apakah mereka pernah di tembak?hampir seluruh murid-muridnya mengacungkan tangan keatas. Akhirnya dari kejadian itu, Erin Gruwell mengubah caranya mengajar dengan mulai mendekati muridnya dan mengajarkan pada mereka mengenai toleransi.
Banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Erin Gruwell.Mulai dari pihak sekolah yang rasis, mereka tidak mendukung kreatifitas Erin Gruwell dalam sistem mengajarnya.Hingga disusul oleh pihak suami dan ayahnya. Agar diterima oleh murid-muridnya, Erin Gruwell mencari cara untuk melakukan pendekatan dan metode pengajaran yang tepat. Demi murid-muridnya inilah, Erin Gruwell sampai memiliki 3 profesi selain menjadi guru, demi mencari tambahan untuk mengajar murid-muridnya di akhir pekan. Namun, sejak Erin Gruwell disibukkan dengan pendekatan terhadap murid-murid didiknya dan bekerja paruh waktu, timbul masalah baru, ia diceraikan oleh suaminya. Hingga pada akhirnya, ayahnya yang semula tidak mendukung, berbalik mendukung pekerjaan Erin Gruwell ini.
Pihak sekolah juga melakukan diskriminasi.Mereka melakukan seperti pemisahan kelas dan juga perbedaan fasilitas yang kentara antara ras kulit putih dan ras-ras lainnya.Hal itu membuat Erin Gruwell sedih. Erin Gruwell jadi paham dengan kondisi murid-muridnya,  mereka selalu berkelompok dengan ras mereka masing-masing. Akhirnya ia menemukan cara untuk “menjangkau” kehidupan murid-muridnya dengan memberikan sebuah  jurnal harian dan meminta mereka untuk mengisi jurnal tersebut setiap harinya. Erin Gruwell menginginkan murid-muridnya menulis setiap kejadian yang terjadi didalam hidup mereka. Mereka bisa menulis tentang apa saja. Mereka dapat menulis apa yang menjadi kesukaan atau pun kebencian. Mereka bisa menulis lagu, puisi, cerita atau apa saja, yang penting mereka harus menulis setiap hari. Tulisan tersebut bukanlah suatu sistem penilaian, karena menurut Erin Gruwell kebenaran itu tidak dapat dinilai dari apa yang mereka tulis. Dan jika murid-muridnya menginginkan tulisannya dibaca oleh Erin Gruwell, mereka dapat meninggalkan buku hariannya di sebuah lemari dibelakang kelas. Lemari itu akan selalu dibuka pada saat pelajaran berlangsung dan setelah kelas selesai akan dikunci. Erin Gruwell memastikan tidak akan ada yang bisa membaca tulisan mereka selain dirinya sendiri. Dan ternyata, seluruh muridnya, meninggalkan buku harian mereka untuk bisa dibaca Erin Gruwell.Ia pun mulai membacanya satu persatu. Dan tulisan murid-muridnya tersebut membuat Erin Gruwell terkejut, karena ternyata murid-muridnya setiap hari harus berlarian untuk bertahan hidup dan melawan maut yang senantiasa mengintai mereka.
Dari kecil mereka sudah terbiasa melihat dan mengalami kekerasan akibat perang rasial yang terjadi disekitar lingkungannya.Erin Gruwell sangat terharu, mengetahui betapa keras kehidupan murid-muridnya. Sejak membaca jurnal harian mengenai kehidupan mereka yang keras itu, Erin semakin bersemangat untuk mengubah kehidupan murid-muridnya, serta menghapus batas tak terlihat yang secara kultur memisahkan mereka dengan cara-cara yang mengagumkan. Dari buku-buku harian itu, Erin paham bahwa dia harus membuat para muridnya sadar, bahwa perang antargeng yang mereka alami bukanlah segalanya didunia. Melalui cara mengajarnya yang unik, dia berusaha membuat para muridnya sadar bahwa dengan pendidikan, mereka dapat mencapai kehidupan yang lebih baik.
Pihak sekolah juga mendiskriminasikan fasilitas buku.Erin yang pada saat itu ingin meminjam buku-buku diperpustakaan untuk murid-muridnya, tidak mendapatkan izin dari pihak sekolah.Alasan yang diberikan oleh pihak sekolah pun tidak masuk akal. Mereka takut jika memberikan izin, buku-buku itu hanya akan dirusak ditangan murid-murid Erin. Namun  Erin Guwell tidak mudah menyerah, ia membelikan buku-buku baru tentang kehidupan geng yang lekat dengan keseharian mereka. Ia mendapatkan uang dari kerja sampingannya. Setiap muridnya  mendapatkan buku The Diary of Anne Frank dan Zlata’s Diary : A Child’s Life in Sarajevo. Anne Frank adalah seorang gadis remaja yang merupakan korban Holocaust, Anne menuliskan setiap kejadian dalam hidupnya disebuah diary.Anne Frank dan keluarganya sampai mengungsi ke Amsterdam Belanda, mereka menghindari kejaran dari Nazi Jerman.Peristiwa yang terjadi adalah pembantaian terhadap kelompok Yahudi di Eropa.Peristiwa ini merupakan perang dunia II oleh Nazi Jerman.Begitu pun juga dengan Zlata.Ia juga harus berjibaku dengan kekerasan di sekelilingnya. Buku-buku yang digunakan Erin Gruwell untuk mendidik murid-muridnya dalam film ini, semuanya merupakan buku yang benar-benar ada. Erin memberikan buku-buku itu pada murid-muridnya supaya mereka dapat belajar. Erin mengajarkan bahwa ada banyak orang lain dibelahan bumi ini, mengalami hal yang sama bahkan lebih kejam daripada apa yang pada saat ini mereka hadapi.
Erin juga membawa murid-muridnya mengunjungi Museum Toleransi. Disana murid-muridnya belajar mengenai toleransi, hal ini  berkaitan hidup dengan mereka yaitu beraneka ragam suku, agama dan juga ras. Pada saat masuk setiap orang akan diberikan sebuah foto anak kecil dan saat keluar dari museum, mereka akan mengetahui apakah anak tersebut selamat atau mati.

Suatu hari murid-murid Erin Gruwell menginginkan untuk bisa menghadirkan Miep Gies.Ia adalah seorang wanita yang memberikan perlindungan kepada keluarga Anne Frank semasa perang dunia II dari kejaran Nazi Jerman. Miep Gies masih hidup dan tinggal di Amsterdam Belanda. Untuk mendatangkan Miep Gies dari Belanda ke Amerika, murid-muridnya mengumpulkan dana dengan membuat bazaar di sekolahnya. Akhirnya akibat usaha keras murid-muridnya, Miep Gies pun dapat datang ke Amerika. Sebelum mendatangkan Miep Gies, Erin Gruwell telah menugaskan murid-muridnya untuk menulis surat ke Miep Gies. Surat-surat dari murid-muridnya itupun telah dikirimkan Erin dan telah di baca oleh Miep Gies, sebelum ia datang ke Amerika. Murid-muridnya akhirnya bisa bertemu langsung, berdialog dan sharing dengan wanita itu.Apa yang dilakukan Erin sangatlah mengagumkan. Namun sayang, peraturan disekolah mengakibatkan Murid-murid Erin terpisah pada kelas selanjutnya. Keinginan untuk terus diajar olehnya sang guru ditentang oleh pihak sekolah, karena Erin Gruwell dianggap masih guru baru. Namun karena perjuangannya yang gigih, akhirnya Erin Gruwell bisa mengajar murid-muridnya sampai akhir.
Erin Gruwell mengadakan suatu proyek.Murid-muridnya diminta untuk menuliskan isi dari diary mereka ke komputer. Tulisan itu akan di jadikan sebuah buku dan diterbitkan. “Murid-murid Erin” menyebut diri mereka adalah Freedom Writers.Bahwa dengan menulis, mereka bisa merubah diri mereka sendiri, keluarga dan lingkungan mereka, bahkan bisa merubah dunia. Bersama Erin, mereka akhirnya membentuk sebuah yayasan bernama Freedom Writers Foundation. Yayasan itu bergerak untuk memberikan metode pembelajaran yang lebih baik di sekolah berdasarkan toleransi. Dari diary murid-murid ruang 203 itulah lahir buku The Freedom Writers’s Diary dan film Freedom Writers. 
Ketika saya selesai melihat film ini, saya teringat akan film detektif conan yang mungkin sudah 2 bulan yang lalu (selang dari beberapa waktu saya menulis ini). Untuk perinchian alur cerita dan tokoh yang ada, saya lupa akan hal itu. Saya menontonnya pun karena suatu kesengajaan.Cerita yang saya ingat yaitu dimulai dari seorang guru perempuan yang memberikan sebuah teka-teki. Teka-teki tersebut harus dipecahkan oleh seluruh anak-anak yang berada dikelas tersebut, tak terkecuali Conan dan ketiga teman akrabnya, si manis, si tomboy dan si gendut (panggil saja seperti itu). Saya tidak terlalu ingat bagaimana proses mereka dalam memecahkan teka-teki itu. Namun sang detektif Conan pada waktu itu mendapat panggilan dari guru untuk keruang kantor. Tetapi Conan masih menyempatkan memberitahu kepada tiga teman akrabnya, bahwa teka-teki tersebut terdiri dari nama keluarga anak-anak dikelas itu. Dan mulai disini saya merasa ada sedikit kesamaan,  proses penyatuan anak-anak tersebut dengan anak didiknya Erin Gruwell, serta dengan caranya yang unik.
Disini guru perempuan itu mencoba untuk membuat dua anak kelasnya tersebut dapat dikenal kembali oleh kawan-kawannya.Mereka adalah seorang anak perempuan dengan dialek daerah asalnya yang berbeda dan seorang anak laki-laki yang mengalami kecelakaan sehingga jarang terlihat dikelas. Pada proses pemecahan teka-teki yang diberikan oleh guru perempuan itu, kedua anak ini berhasil ikut andil dalam penyelesaiannya. Dan hal yang paling saya ingat dari salah satu episode film detektif Conan ini adalah apa yang disampaikan Conan dipengujung akhir film. Conan berkata bahwa dia merasa sangat bangga kepada gurunya tersebut.Caranya dalam menyatukan kedua anak tadi, untuk dapat kembali akrab dengan anak-anak yang lainnya benar-benar mengagumkan. Ceritanya mungkin sedikit berbeda, namun maksud dari perbuatan kedua guru ini sama yaitu membuat anak didiknya bersatu, dekat satu dengan yang lainnya.
Peran guru sangatlah penting dalam kehidupan seorang anak.Banyak anak-anak yang menempatkan guru sebagai orang tua kedua setelah ayah dan ibu mereka.Maka dapat disimpulkan, bahwa “The Freedom writers” adalah sebuah film yang merupakan upaya pendekatan seorang guru kepada murid-murid didiknya melalui tulisan sebagai media pembelajaran.Pentingnya upaya dalam memberikan pendidikan yang tepat bagi anak-anak sangat berpengaruh. Upaya pendekatan yang dilakukan Erin tersebut berhasil, karena  jurnalharian yang ia berikan dapat membuatnya dekat dengan murid-muridnya. “The Freedom Writers” ini memiliki alur cerita yang mudah dipahami dan juga dialognya yang mudah dimengerti.Permasalahan-permasalah remaja yang ditampilkan didalamnya pun juga cukup dekat dengan permasalah remaja pada umumnya.Diantaranya yaitu pencarian jati diri dan segala pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan untuk mengukuh-kan eksistensi diri.Semua itu dibungkus dalam pemasalahan perang antargeng.Fakta menarik dari film ini salah satunya, ada pada adegan saat murid-murid Erin bertemu dengan orang-orang korban Holocaust.Yang berperan menjadi korban Holocaust benar-benar korban Holocaust sendiri. Sutradara Richard Lagravenese tak perlu susah payah untuk mengarahkan aktor dan aktris (pemeran murid-murid Erin), untuk dapat terlihat tercengang saat mendengar cerita para korban Holocaust itu. Para aktor dan aktris tersebut benar-benar tercengang mendengar cerita para korban Holocaust. Di tengah-tengah maraknya film remaja yang ceritanya tidak jauh-jauh dari cerita cinta, komedi atau horor, Freedom Writers bisa menjadi pilihan bagi anak muda yang tidak sekedar ingin mencari hiburan semata, namun dapat juga mengambil  banyak pembelajaran tertentu dari film tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

http://The Journal of Miktam Lilo's Father  March 2011.html diunduh pada tanggal 10/1/2014 9:25 am
http://THE FREEDOM WRITERS~Delapan Maret.html diunduh pada tanggal 10/1/2014 7:52 am
http://Sinopsis Film Freedom Writers_Perkuliahan.com.html diunduh pada tanggal 10/1/2014 9:23 am
http://THE FREEDOM WRITERS DIARY (Pentingnya menemukan cara mendidik yang tepat untuk masing-masing anak dan sekolah yang tepat baginya) - Google Grup.htm#!overview diunduh pada tanggal 10/1/2014 9:19 am
http://tanayasyifa  Sinopsis The Freedom Writers.html diunduh pada tanggal 10/1/2014 9:26 am


Sejarah tentang Bimbingan dan Konseling

  1. Sejarah Bimbingan dan Konseling di Amerika
Bimbingan dan Konseling pertama kali lahir di Amerika pada awal abad XX, yaitu pada tahun 1908 Frank Persons membuka klinik di Boston dengan nama Boston Vocational Bureau yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan informasi dan pelatihan bagi pemuda yang ingin mencari kerja. Lembaga ini juga melatih guru di sekolah untuk dapat menyeleksi dan memberi nasihat kepada siswa dalam pemilihan sekolah yang lebih tepat untuk karirnya nanti. Tahun 1909 Frank Persons menerbitkan buku “chosing a vocation” yang kemudian melalui buku ini berhasil mengidentifikasi dan mengenalkan profesi baru untuk membantu orang lain sehingga dia dikenal sebagai Father of The Guidance Movement in American Education”. Pada tahun 1913 muncul sebuah gerakan bimbingan bagi anak-anak muda yang belum berpengalaman bekerja yang diwadahi oleh National Vocational Guidance Association yang kemudian istilah guidance “bimbingan” menjadi label yang popular dalam gerakan konseling di sekolah-sekolah hampir kurang lebih 50 tahun. Banyak tokoh-tokoh yang mempelopori gerakan bimbingan dan konseling sehingga sangat berpengaruh terhadap sejarah bimbingan dan konseling seperti Jessi B Davis, Anna Y. Reed, Eli W. Weaver dan David S. Hill.
Kemudian dalam kurun waktu seperempat abad XX, dua perkembangan signifikan dalam psikologi mempengaruhi perkembangan gerakan bimbingan dan konseling di sekolah, yaitu : Pengenalan dan pengembangan tes psikologis standar yang diberikan secara kelompok dan gerakan kesehatan mental. Perubahan ini dimulai sejak tahun 1905 ketika Psikolog perancis Alfred Binet dan Theodore Simon memperkenalkan tes kecerdasan untuk pertama kali. Kemudian tahun 1916 versi terjemahan dan revisi diperkenalkan di AS oleh Lewis M. Terman dan kolega-kolega di Universitas Stanford dan tes kecerdasan ini populer sekolah-sekolah. Pada Tahun 1920-an di kalangan pendidik professional, terjadi sebuah gerakan progersif yang membuka terobosan baru bagi sebuah era pendidikan. Banyak konselor pada masa ini yang mengakui dalam perspektif pendidikan progresif, siswa dan guru semestinya membuat rencana bersama-sama, bahwa lingkungan social anak semestinya diperbaiki, bahwa kebutuhan dan keinginan perkembangan siswa semestinya diperhatikan dan bahwa lingkungan psikologis ruang kelas mestinya positif dan menguatkan. Sejak tahun 1920-an ini pula program bimbingan yang terorganisasi mulai muncul dengan frekuensi tinggi di jenjang SMP, lebih intensif lagi di SMA dengan pengangkatan guru BK. Bimbingan dan konseling di Jejang SD juga mulai tampak akhir 1920-an dan awal 1930-an dipicu oleh tulisan-tulisan dan usaha keras William Burnham yang menekankan guru untuk memajukan kesehatan mental anak yang memang diabaikan pada era itu.   Dengan keberhasilan gerakan pata tahun 1920an ini Banyak pihak mulai mengakui manfaat gerakan bimbingan, maka pendukung gerakan mulai memikirkan program bimbingan siswa dapat disediakan di setiap jenjang dari SD sampai SMA.
Akhir PD II, gerakan bimbingan mulai menampaki vitalitas dan arah yang baru. Tokoh dari gerakan ini adalah Carl Rogers yang memberi pengaruh yang besar sebagai gerakan konseling di sekolah dan masyarakat. Rogers mengusulkan sebuah teori konseling baru di dua buku terpentingya: Counseling and Psychoterapy (1942) menawarkan konseling non direktif sebagai alternative untuk metode tradisional yang lebih direktif sifatnya. Ia menekankan tanggung jawab klien untuk memahami problemnya sendiri dan memicu mereka mengembangkan diri; Teori ini dilabeli “non direktif” (tidak mengarahkan) karena bertolak belakang dengan pendekatan tradisional yang berpusat pada intervensi konselor saat menangani problem siswa. Buku yang kedua “Client-centered Therapy “ mengusulkan perubahan semantic dari konseling non direktif menjadi ‘berpusatklien’, namun yang lebih penting lagi , meletakkan titik berat pada kemungkinan pertumbuhan dalam diri klien. Pengaruh dari Rogers ini menghasilkan sebuah pentitikberatan pada konseling sebagai aktivitas primer dan mendasar para konselor sekolah.
Perkembangan bimbingan dan konseling di Amerika sangat pesat dengan adanya perkembangan asosiasi konselor amerika mulai tahun 1950 . Hal ini ditandai dengan berdirinya APGA (American Personnel and Guidance Association) pada tahun 1952. Selanjutnya, pada bulan Juli1983 APGA mengubah namanya nenjadi AACD (American Association for Counselling and Development). Kemudian tahun 1992 berubah menjadi the American Counseling Association (ACA).
Dengan awal perkembangan bimbingan dan konseling di Amerika kemudian bimbingan dan konseling juga berkembangan menjalar ke Eropa, Asia, Afrika, Amerika Selatan dan Australia.

  1. Sejarah Bimbingan dan Konseling di Indonesia
Sejarah lahirnya bimbingan dan konseling di Indonesia diawali sejak masukkannya bimbingan dan konseling (dulunya bimbingan dan penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20-24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan.
Tahun 1971 berdiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini bimbingan dan konseling dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan bimbingan dan penyuluhan” pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas di dalamnya memuat pedoman bimbingan dan konseling. Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA bimbingan dan konseling di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru bimbingan dan konseling di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Konseling. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Konseling. Keberadaan Bimbingan dan Konseling secara legal formal diakui pada tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Perkembangan sejarah bimbingan dan konseling di Indonesia lebih banyak dilakukan dalam kegiatan formal di sekolah. Pada awal tahun 1960 di beberapa sekolah dilakukan program bimbingan akademis dan konseling yang terbatas. Pada tahun 1964, lahir Kurikulum SMA Gaya Baru, dengan program bimbingan dan konseling yang saat itu disebut “Bimbingan dan Penyuluhan” pada waktu itu dipandang sebagai unsur pembaharuan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Akan tetapi program ini tidak berjalan, karena kurang persiapan prasyarat dan kekurangan tenaga pembimbing yang profesional. Untuk mengatasinya pada dasawarsa 60-an Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan diteruskan oleh Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (1963) membuka jurusan bimbingan dan konseling yang sekarang dikenal dengan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dengan nama Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (PPB). Secara formal bimbingan dan konseling diprogramkan di sekolah sejak diberlakukannya kurikulum 1975 yang menyatakan bahwa bimbingan dan konseling merupakan bagian integral pendidikan di sekolah. Petugas yang secara khusus melaksanakan pelayanan bimbingan dan konseling pada saat itu disebut Guru Bimbingan dan Penyuluhan (Guru BP).
Pada tahun 1975 berdiri Ikatan Petugas Bimbingan Indonseia (IPBI), dengan memberikan pengaruh terhadap perluasan program bimbingan di sekolah yang dilaksankan di Malang. Beberapa upaya dalam pendidikan yang dilakukan untuk menyempurnakan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984 telah dimasukan bimbingan karier di dalamnya. Usaha untuk memantapkan bimbingan terus dilakukan dengan diberlakukannya UU No.2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan bagi peranannya pada masa yang akan datang. Pemantapan bimbingan terus dilanjutkan dengan dikeluarkannya SK Menpan No. 80/1993 tentang jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Dalam Pasal 3 disebutkan tugas pokok guru adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi pelaksanaan bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut dalam program bimbingan.
Sejak diberlakukannya kurikulum 1994, sebutan untuk Guru BP berubah menjadi Guru Pembimbing, sebutan resmi ini diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 84 Tahun 1995 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, serta Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.025/0/1995 tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya antara lain mengandung arahan dan ketentuan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah oleh guru kelas di SD dan guru pembimbing di SLTP dan SLTA. Walaupun kedua aturan tersebut mengandung hal-hal yang berkenaan dengan pelayanan bimbingan dan konseling, tetapi tugas itu dinyatakan sebagai tugas guru (dengan sebutan guru pembimbing) dan tidak secara eksplisit dinyatakan sebagai tugas konselor. Hal ini dapat dipahami karena sebutan konselor belum ada dalam perundangan. Penggunaan sebutan guru, sangat merancukan konteks tugas guru yang mengajar dan konteks tugas konselor sebagai penyelenggara pelayanan ahli bimbingan dan konseling. Guru pembimbing yang pada saat ini ada di lapangan pada hakikatnya melaksanakan tugas sebagai konselor, tetapi sering diperlakukan dan diberi tugas layaknya guru mata pelajaran.   Bimbingan dan konseling bukanlah kegiatan pembelajaran dalam konteks adegan belajar mengajar di kelas yang layaknya dilakukan guru sebagai pembelajaran bidang studi, melainkan pelayanan ahli dalam konteks memandirikan peserta didik. (ABKIN: 2007).
Pada tahun 2001 terjadi perubahan organisasi Ikatan Petugas Bimbingan Indonseia (IPBI) menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). Dengan fungsi bahwa bimbingan dan konseling harus tampil sebagai profesi yang mendapat pengakuan. Kemudian pada tahun 2003 istilah guru pembimbing berganti menjadi konselor. Merujuk pada UU RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebutan untuk guru pembimbing dinyatakan dalam sebutan ‟Konselor.” Keberadaan konselor dalam sistem pendidikan nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator dan instruktur (UU RI No. 20/2003, pasal 1 ayat 6).
Namun dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP 2006), posisi dan arah layanan bimbingan dan konseling di sekolah sesungguhnya mengalami kemunduran, karena adanya pemahaman tentang konteks tugas dan ekspektasi kinerja konselor yang tidak menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya, dengan ekspektasi kinerja guru yang menggunakan materi pelajaran sebagai konteks layanan keahliannya. Bimbingan dan konseling dibawa ke wilayah pembelajaran yang berpayung pada standar isi, bimbingan dan konseling menjadi bagian dari standar isi yang dituangkan menjadi pengembangan diri dan menjadi salah satu komponen kurikulum.

Minggu, 24 April 2016

Profesi Bimbingan dan Konseling

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen penting dalam suatu sekolah. Peran penting dari bimbingan dan konseling sendiri adalah membantu peserta didik mencapai keoptimalan diri sesuai dengan potensi yang dimiliki serta mengentaskan masalah yang tengah dialami. Layanan bimbingan dan konseling tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Ahli atau orang yang berkecimpung dalam bimbingan dan konseling disebut dengan istilah konselor. Konselor sekolah merupakan seorang ahli yang membantu peserta didik mencapai perkembangannya serta mengentaskan masalahnya. Demikianlah kerja dari seorang konselor.
Pekerjaan sebagai konselor bisa disebut sebagai sebuah profesi dimana tidak semua dari pekerjaan bisa disebut sebagai profesi. Prayitno (2004) menyatakan bahwa profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya. Artinya, pekerjaan yang disebut profesi tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu. Sebuah profesi harus memenuhi etika atau memiliki ciri-ciri tertentu. Bimbingan konseling hanya bisa dilakukan oleh seorang konselor.
Akan tetapi pada kenyataannya banyak sekolah yang tidak memperhatikan profesi konselor sekolah tersebut. Ada beberapa sekolah tidak menunjukan profesi konselor sebagaimana mestinya. Salah satu contohnya adalah dengan menjadikan orang lain yang bukan konselor untuk menjadi konselor. Juga beberapa tidak memenuhi syarat atau ciri-ciri sebagai seorang konselor yang berpegang pada profesi. Idealnya seorang konselor harus dipegang oleh seseorang yang benar-benar memiliki latar belakang pendidikan bimbingan dan konseling atau seorang konselor yang menunjukan ciri khas profesi.
Oleh karena itu makalah ini akan membahas mengenai apa itu profesi, ciri-cirinya dalam bimbingan dan konseling. Sebagai dasar agar kedepannya bisa dijadikan panutan atau tuntunan dalam berprofesi.
B. Rumusan Masalah
Dengan mengetahui latar belakang diatas maka dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan profesi?
2. Apakah ciri-ciri dari suatu profesi?
3. Bagaimanakah kajian dari Bimbingan dan Konseling sebagai suatu profesi?
C. Tujuan
Penulisan makalah ini memiliki beberapa tujuan, yaitu:
1. Untuk mengetahui konsep dasar dari profesi
2. Untuk mengetahui ciri-ciri khas dari suatu profesi
3. Untuk mengetahui kajian Bimbingan dan Konseling sebagai suatu profesi
D. Manfaat
1.   Teoritis
a.       Sebagai bahan ajar dalam mata kuliah
b.      Sebagai pengetahuan dalam profesi
2.   Praksis
Diharapkan kedepannya para konselor mampu menjalankan profesinya dengan baik dan benar.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Profesi
Istilah profesi telah dimengerti oleh banyak orang bahwa suatu hal yang berkaitan dengan bidang yang sangat dipengaruhi oleh pendidikan dan keahlian, sehingga banyak orang yang bekerja tetap sesuai dengan keahliannya. Tetapi dengan keahlian saja yang diperoleh dari pendidikan kejuruan, juga belum cukup disebut profesi. Tetapi perlu penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek.
Profesi sering kita artikan dengan “pekerjaan” atau “job” kita sehari-hari. Tetapi dalam kata profession yang berasal dari perbendaharaan Angglo Saxon tidak hanya terkandung pengertian “pekerjaan” saja. Profesi mengharuskan tidak hanya pengetahuan dan keahlian khusus melalui persiapan dan latihan, tetapi dalam arti “profession” terpaku juga suatu “panggilan”.Dengan begitu, maka arti “profession” mengandung dua unsur. Pertama unsure keahlian dan kedua unsur panggilan
Prayitno (2004) menyatakan bahwa profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya. Artinya, pekerjaan yang disebut profesi tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu. Sebuah profesi harus memenuhi etika atau memiliki ciri-ciri tertentu. Bimbingan konseling hanya bisa dilakukan oleh seorang konselor.
De George juga menyatakan bahwa profesi, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.Profesi merupakan pekerjaan yang di dalamnya memerlukan sejumlah persyaratan yang mendukung pekerjaannya. Karena itu, tidak semua pekerjaan menunjuk pada sesuatu profesi.
Pengertian profesi secara singkat juga dikemukakan Kenneth Lynn dalam M. Nurdin (2004) bahwa profesi adalah menyajikan jasa berdasarkan ilmu pengetahuan. Mc Cully dalam M. Nurdin (2004) menggambarkan bahwa profesi adalah Menggunakan teknik dan prosedur dg landasan intelektual. Sedangkan menurut Sudarwan Danim (1995) profesi adalah pekerjaan yang memerlukan spesialisasi akademik. (Pantiwati : 2010)
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut keahlian, ilmu pengetahuan, menggunakan teknik yang relevan serta harus berkependidikan yang spesifik. Sehingga tidak semua pekerjaan adalah suatu profesi.
B.     Ciri – Ciri Profesi
Suatu jabatan atau pekerjaan disebut profesi apabila ia memiliki syarat-syarat atau ciri-ciri tertentu. Sejumlah ahli seperti McCully, 1963; Tolbert, 1972; dan Nugent, 1981) telah merumuskan syarat-syarat atau ciri-ciri dari suatu profesi. Dari rumusan-rumusan yang mereka kemukakan, dapat disimpulkan syarat-syarat atau ciri-ciri utama dari suatu profesi sebagai berikut (Prayitno : 2004):
1.         Suatu profesi merupakan suatu jabatan atau pekerjaan yang memiliki fungsi dan kebermaknaan sosial yang sangat menentukan.
2.         Untuk mewujudkan fungsi tersebut pada butir di atas para anggotanya (petugasnya dalam pekerjaan itu) harus menampilkan pelayanan yang khusus yang didasarkan atas teknik-teknik intelektual, dan ketrampilan-ketrampilan tertentu yang unik.
3.         Penampilan pelayanan tersebut bukan hanya dilakukan secara rutin saja, melainkan bersifat pemecahan masalah atau penanganan situasi kritis yang menuntut pemecahan dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.
4.         Pada anggotanya memiliki kerangka ilmu yang sama yaitu didasarkan atas ilmu yang jelas, sistematis, dan eksplisit; bukan hanya didasarkan atas akal sehat (common sense) belaka.
5.         Untuk dapat menguasai kerangka ilmu itu diperlukan pendidikan dan latihan dalam jangka waktu yang cukup lama.
6.         Para anggotanya secara tegas dituntut memiliki kompetensi minimum melalui prosedur seleksi, pendidikan dan latihan, serta lisensi atau sertifikasi.
7.         Dalam menyelenggarakan pelayanan kepada pihan yanng dilayani, para anggota memiliki kebebasan dan tanggung jawab pribadi dalam memberikan pendapat dan pertimbangan serta membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan berkenaan dengan penyelenggaraan pelayanan profesional yang dimaksud.
8.         Para anggotanya, baik perorangan maupun kelompok, lebih mementingkan pelayanan yang bersifat sosial daripada pelayanan yang mengejar keuntungan yang bersifat ekonomi.
9.         Standar tingkah laku bagi anggotanya dirumuskan secara tersurat (eksplisit) melalui kode etik yang benar-benar diterapkan; setiap pelanggaran atas kode etik dapat dikenakan sanksi tertentu.
10.     Selama berada dalam pekerjaan itu, para anggotanya terus-menerus berusaha menyegarkan dan meningkatkan kompetensinya dengan jalan mengikuti secara cermat literatur dalam bidang pekerjaan itu, menyelenggarakan dan memahami hasil-hasil riset, serta berperan serta secara aktif dalam pertemuan-pertemuan sesama anggota.
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
1.         Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2.         Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3.         Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4.         Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, di mana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5.         Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
Selain memiliki beberapa ciri khas, sebuah profesi juga memiliki prinsip-prinsip etika.
Beberapa diantaranya yaitu :
1.         Tanggung jawab
a.       Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.
b.      Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya.
2.         Keadilan
Prinsip ini menuntut kita untuk memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya.
3.         Otonomi
Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri kebebasan dalam menjalankan profesinya.
C.    Bimbingan dan Konseling Sebagai Suatu Profesi
Diyakini bahwa pelayanan bimbingan dan konseling adalah suatu profesi yang dapat memenuhi ciri-ciri dan persyaratan tersebut. Namun, berhubung dengan perkembangannya yang masih tergolong baru, terutama di Indonesia, dewasa ini pelayanan bimbingan dan konseling belum sepenuhnya mencapai persyaratan yang diharapkan. Sebagai profesi yang handal, bimbingan dan konseling masih perlu dikembangkan, bahkan diperjuangkan.
Menurut Prayitno (2004) pengembangan profesi bimbingan dan konseling antara lain melalui (a) standardisasi untuk kerja profesional konselor, (b) standardisasi penyiapan konselor, (c) akreditasi, (d) stratifikasi dan lisensi, dan (e) pengembangan organisasi profesi.
1.      Standarisasi Untuk Kerja Profesional Konselor
Masih banyak orang yang memandang bahwa pekerjaan dan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa pun juga, asalkan mampu berkomunikasi dan berwawancara. Anggapan lain mengatakan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling semata-mata diarahkan kepada pemberian bantuan berkenaan dengan upaya pemecahan masalah dalam arti yang sempit saja. Ini jelas merupakan anggapan yang keliru. Sebagaimana telah diuraikan pada Bab VI, pelayanan bimbingan dan konseling tidak semata-mata diarahkan kepada pemecahan masalah saja, tetapi mencakup berbagai jenis layanan dan kegiatan yang mengacu pada terwujudnya fungsi-fungsi yang luas. Berbagai jenis bantuan dan kegiatan menuntut adanyaunjuk kerja profesional tertentu. Di Indonesia memang belum ada rumusan tentang unjuk kerja profesional konselor yang standar. Usaha untuk merintis terwujudnya rumusan tentang unjuk kerja itu telah dilakukan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) pada Konvensi Nasional VII IPBI di Denpasar, Bali (1989). Upaya ini lebih dikonkretkan lagi pada Konvensi Nasional VIII di Padang (1991). Rumusan unjuk kerja yang pernah disampaikan dan dibicarakan dalam konvensi IPBI di Padang itu dapat dilihat pada lampiran.
Walaupun rumusan butir-butir (sebanyak 225 butir) itu tampak sudah terinci, namun pengkajian lebih lanjut masih amat perlu dilakukan untuk menguji apakah butir-butir tersebut memang sudah tepat sesuai dengan kebutuhan lapangan, serta cukup praktis dan memberikan arah kepada para konselor bagi pelaksanaan layanan terhadap klien. Hasil pengkajian itu kemungkinan besar akan mengubah, menambah merinci rumusan-rumusan yang sudah ada itu.
2.      Standardisasi Penyiapan Konselor
Tujuan penyiapan konselor ialah agar para (calon) konselor memiliki wawasan dan menguasai serta dapat melaksanakan dengan sebaik-baiknya materi dan ketrampian yang terkandung di dalam butir-butir rumusan unjuk kerja. Penyiapan konselor itu dilakukan melalui program pendidikan prajabatan, program penyetaraan, ataupun pendidikan dalam jabatan (seperti penataran). Khusus tentang penyiapan konselor melalui program pendidikan dalam jabatan, waktunya cukup lama, dimulai dari seleksi dan penerimaan calon peserta didik yang akan mengikuti program sampai para lulusannya diwisuda. Program pendidikan prajabatn konselor adalah jenjang pendidikan tinggi.
3.      Akreditasi
Lembaga pendidikan konselor harus diakreditasikan untuk menjamin mutunya. Tujuan pokok akreditasi adalah :
a.       Untuk menilai bahwa program yang ada memenuhi standar yang ditetapkan oleh profesi.
b.      untuk menegaskan misi dan tujuan program.
c.       untuk menarik calon konselor dan tenaga pengajar yang bermutu tinggi.
d.      untuk membantu para lulusan memenuhi standarkredensial, seperti lisensi.
e.       untuk meningkatkan kemampuan program dan pengakuan terhadap program tersebut.
f.       untuk meningkatkan program dari penampilan dan penutupan.
g.      untuk membantu mahasiswa yang berpotensi dalam seleksi memakai program pendidikan konselor.
h.      memungkinkan mahasiswa dan staf pengajar berperan serta dalam evaluasi program secara intensif.
i.        membantu para pemakai lulusan untuk mengetahui program mana yang telah standar.
j.        untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat pendidikan, masyarakat profesi dan masyarakat pada umumnyatentang kemantapan pelayanan bimbingan dan konseling.
4.      Sertifikasi dan lisensi
Kedua hal tesebut terlebih dahulu disusun dan diberlakukan oleh undang-undang atau peraturan pemerintah. Bertujuan untuk menjaga profesionalitas konselor. Sertifikasi merupakan program yang dilaksanakan pemerinah agar seorang konselor dapat bekerja sedangkan lisensi diperuntukan apabila bekerja diluar negeri.
5.      Pengembangan Organisasi Profesi
Menurut Paputungan (2010) ada beberapa hal yang perlu di perhatikan dalam profesi bimbingan dan konseling yaitu:
1.   Memahami secara mendalam konseli yang hendak dilayani
2.   Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas,
kebebasan memilih, dan mengedepankan kemaslahatan konseli dalam konteks
kemaslahatan umum: (a) mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang
manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi; (b)
menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan
konseli pada khususnya; (c) peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya
dan konseli pada khususnya; (d) menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
sesuai dengan hak asasinya; (e) toleran terhadap permsalahan konseli, dan (f)
bersikap demokratis.
3.   Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling.
4.   Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling; (b) menguasai ilmu
pendidikan dan landasan keilmuannya; (c) mengimplementasikan prinsipprinsip
pendidikan dan proses pembelajaran; (d) menguasai landasan budaya dalam praksis
pendidikan.
5.   Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenjang, dan
jenis satuan pendidikan: (a) menguasai esensi bimbingan dan onseling pada satuan
jalur pendidikan formal, non formal, dan informal; (b) menguasai esensi bimbingan
dan konseling pada satuan jenis pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan
khusus; dan (c) menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenjang
pendidikan usia dini, dasar dan menengah.
6.   Menguasai konsep dan praksis penelitian bimbingan dan konseling: (a) memahami
berbagai jenis dan metode penelitian; (b) mampu merancang penelitian bimbingan
dan konseling; (c) melaksanakan penelitian bimbingan dan konseling; (d)
memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses
jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling.
7.   Menguasai kerangka teori dan praksis bimbingan dan konseling: (a)
mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling; (b) mengaplikasikan
arah profesi bimbingan dan konseling; (c) mengaplikasikan dasar-dasar pelayanan
bimbingan dan konseling; (d) mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan
konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja; (e) mengaplikasikan
pendekatan/model/ jenis layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan
konseling; dan (f) Mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan bimbingan dan
konseling.
8.   Menyelenggarakan bimbingan dan konseling yang memandirikan
9.   Merancang program bimbingan dan konseling: (a) menganalisis kebutuhan konseli;
(b) menyusun program bimbingan dan konseling yang berkelanjutan berdasar
kebutuhan peserta didik secara komprehensif dengan pendekatan perkembangan;
(c) menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling; dan (d)
merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan
konseling.
10.  Mengimplemantasikan program bimbingan dan konseling yang komprehensif: (a)
Melaksanakan program bimbingan dan konseling: (b) melaksanakan pendekatan
kolaboratif dalam layanan bimbingan dan konseling; (c) memfasilitasi
perkembangan, akademik, karier, personal, dan sosial konseli; dan (d) mengelola
sarana dan biaya program bimbingan dan konseling.
11.  Menilai proses dan hasil kegiatan bimbingan dan konseling: (a) melakukan
evaluasi hasil, proses dan program bimbingan dan konseling; (b) melakukan
penyesuaian proses layanan bimbingan dan konseling; (c) menginformasikan hasil
pelaksanaan evaluasi layanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait; (d)
menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan
program bimbingan dan konseling.
12.  Mengimplementasikan kolaborasi intern di tempat bekerja: (a) memahami dasar,
tujuan, organisasi dan peran pihak-pihak lain (guru, wali kelas, pimpinan
sekolah/madrasah, komite sekolah/madrasah di tempat bekerja; (b)
mengkomunikasikan dasar, tujuan, dan kegiatan pelayanan bimbingan dan
konseling kepada pihak-pihak lain di tempat bekerja; dan (c) bekerja sama dengan
pihak-pihak terkait di dalam tempat bekerja seperti guru, orang tua, tenaga
administrasi).
13.  Berperan dalam organisasi dan kegiatan profesi bimbingan dan konseling: (a)
Memahami dasar, tujuan, dan AD/ART organisasi profesi bimbingan dan
konseling untuk pengembangan diri.dan profesi; (b) menaati Kode Etik profesi
bimbingan dan konseling; dan (c) aktif dalam organisasi profesi bimbingan dan
konseling untuk pengembangan diri.dan profesi.
14.  Mengimplementasikan kolaborasi antar profesi: (a) mengkomunikasikan aspek
aspek profesional bimbingan dan konseling kepada organisasi profesi lain; (b)
memahami peran organisasi profesi lain dan memanfaatkannya untuk suksesnya
pelayanan bimbingan dan konseling; (c) bekerja dalam tim bersama tenaga
paraprofesional dan profesional profesi lain; dan (d) melaksanakan referal kepada
ahli profesi lain sesuai keperluan
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Profesi merupakan suatu pekerjaan yang menuntut keahlian, ilmu pengetahuan, menggunakan teknik yang relevan serta harus berkependidikan yang spesifik. Sehingga tidak semua pekerjaan adalah suatu profesi. Profesi memiliki cirri-ciri khas yang membedakannya dengan pekerjaan yang lain. Bimbingan dan konseling dalam perspektif suatu profesi harus dapat menjaga profesionalitasnya.
B.     Saran
Diharapkan kedepannya profesi dapat berkembang dengan baik, dan kita para calon konselor harus dapat menjalankan profesi sesuai dengan kode etik yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
ABKIN. 2007. Naskah Akademik Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal dan Non Formal
Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.
Prayitno & Erman Amti. 2004. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Rineka Cipta
Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.